Daerah Aliran Sungai (DAS) Bah Bolon yang terletak di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mencakup area seluas 197.679 hektar. Daerah aliran sungai ini bersumber dari Danau Toba dan bermuara di Selat Malaka. DAS ini menjadi sumber air bagi ribuan orang, serta peternakan, pertanian, industri, dan PDAM di berbagai wilayah.
Seperti banyak daerah aliran sungai lainnya di Indonesia, Bah Bolon menghadapi berbagai ancaman yang disebabkan aktivitas manusia: polusi, penggundulan hutan, konversi penggunaan lahan, praktik pengelolaan lahan yang buruk, dan pembangunan yang berlebihan. Sementara itu, perubahan iklim berdampak pada hidrologi, ekologi, dan fungsi keseluruhan daerah tangkapan air, sehingga menurunkan kuantitas dan ketersediaan air baku serta mengganggu ekosistem dan keanekaragaman hayati.
USAID IUWASH Tangguh bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya air (PSDA) untuk mendukung layanan air minum yang tangguh. Banyak PDAM sangat bergantung pada daerah aliran sungai sebagai sumber air utama mereka; oleh karenanya, penting bagi Indonesia untuk memastikan konservasi sumber daya air dan daerah aliran sungai yang berkelanjutan.
Pendekatan lanskap berkelanjutan yang dilakukan proyek mencakup fasilitasi kebijakan dan peraturan, bantuan teknis, dan peningkatan kapasitas, serta dilaksanakan melalui kemitraan dengan instansi pemerintah, penyedia layanan, dan masyarakat. Di Simalungun, USAID IUWASH Tangguh bekerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun menyelenggarakan program pelatihan “sekolah iklim” yang ditujukan bagi kelompok petani lokal di Desa Bandar Damanik.
Melalui serangkaian pelatihan di kelas dan lapangan, program ini bertujuan untuk membantu kelompok tani lokal memahami dampak perubahan iklim dan memperoleh keterampilan praktis serta informasi mengenai adaptasi dan mitigasi. Dari bulan Agustus hingga September 2023, para pakar dari ketiga lembaga tersebut memberikan pelatihan kepada 18 kelompok tani, tentang cara menilai tren air hujan, mengelola tanah, dan teknik-teknik pertanian konservasi.
Agun Satria Silalahi yang selama ini berprofesi sebagai petani, menekankan bahwa pelatihan ini meningkatan pengetahuan mereka tentang konservasi dan adaptasi iklim. “Kami belajar cara mengukur curah hujan, memilih jenis tanaman untuk berbagai kondisi cuaca, melestarikan sumber air, menanam tanaman konservatif untuk mencegah tanah longsor, dan menstabilkan tepian sungai.”
Agun dan peserta lainnya mempraktikkan cara mengukur dan mencatat curah hujan menggunakan ombrometer (alat ukur curah hujan) dan melaporkan datanya setiap sepuluh hari ke BMKG. Pihak BMKG akan menginformasikan prakiraan cuaca bulanan kepada para petani sehingga petani dapat memilih tanaman apa yang akan ditanam.
“Kajian kerentanan perubahan iklim ibaratnya pemeriksaan terhadap masyarakat dan ekosistem untuk melihat seberapa besar dampak perubahan iklim bagi mereka. Kajian ini meneliti hal-hal seperti perubahan suhu, pola curah hujan, dan peristiwa cuaca ekstrem untuk memahami bagaimana perubahan tersebut dapat berdampak pada manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Dengan mengetahui wilayah mana yang lebih rentan, kita dapat membuat rencana untuk melindungi wilayah tersebut dan membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan.”